Hukum
Mengucapkan Selamat Ulang Tahun
Diantara
‘ulama yang menolak perayaan ulang tahun adalah Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin. Suatu ketika beliau pernah ditanya, “Bagaimana hukum merayakan ulang tahun anak?”
Beliau menjawab, bahwa perayaan ulang tahun anak tidak dapat lepas dari dua hal
: dianggap sebagai ibadah atau hanya sekedar adat kebiasaan saja.
Jika
dimaksudkan sebagai ibadah, hal itu termasuk bid’ah dalam agama Alloh. Padahal
amalan bid’ah itu sendiri telah divonis sesat oleh Rasululloh dalam sabda
beliau, “Jauhilah
perkara-perkara baru (dalam soal agama), karena semua yang baru adalah bid’ah
dan setiap bid’ah adalah sesat.” [HR. Tirmidzi dan Abu Dawud]
‘Abdul
‘Aziz menyatakan, Islam tidak punya tempat untuk perayaan semacam itu. Ia juga
mengeluarkan daftar seluruh kebiasaan asing yang menurutnya tidak patut kita
tiru. Orang Kristen punya hari Ibu, pesta untuk pohon, dan setiap kesempatan
berpesta. Demikian tandas ‘Abdul ‘Aziz kepada surat kabar al-Madina.
Memang
benar, sebagian masyarakat Barat melakukan perayaan ulang tahun kelahiran dan
mengucapkan selamat ulang tahun, tetapi apakah hal itu identik dengan agama dan
ajaran ritual mereka? Menurut sebagian ‘ulama yang membolehkan hal ini,
perayaan dan ucapan itu tidak terkait dengan ritual ibadah sebuah agama, tapi
hanya budaya sebuah masyarakat. Dan pada prinsipnya, Islam tidak melarang
sebuah kebiasaan manakala memang tidak secara langsung ada larangan untuk
melakukannya atau bertentangan dengan syariat Islam.
Walhasil,
wallahu a’lam, meskipun tidak ada larangan dari ayat al-Qur`an atau hadits yang
secara detail mengharamkan seseorang mengadakan ulang tahun atau mengucapkan
selamat ulang tahun, kita dengan bijak bisa membuat perbandingan. Mencoba mensyiarkan
hal-hal yang secara syar’i memang punya nilai dakwah dan keislaman. Sementara
itu, hal yang tidak ada nilai keislamannya, seperti acara ulang tahun atau
ucapan ulang tahun, rasanya kita tidak perlu bersusah payah untuk
menghidupkannya.
Ulang
tahun termasuk di antara hari-hari raya jahiliah dan tidak pernah dikenal di
zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tatkala penentuan hari raya adalah
tauqifiah (terbatas pada dalil yang ada), maka menentukan suatu hari sebagai
hari raya tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah dalam agama dan berkata atas nama
Allah tanpa ilmu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda dalam
hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu:
قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ, وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Saya
terutus kepada kalian sedang kalian (dulunya) mempunyai dua hari raya yang
kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyah, dan sungguh Allah telah
mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu)
hari Nahr (idul Adh-ha) dan hari Fithr (idul Fithri)”. (HR. An-Nasa`i (3/179/5918) dan dinyatakan shahih
oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4460)
Maka
hadits ini menegaskan bahwa hari raya tahunan yang diakui dalam Islam hanyalah
hari raya idul fithri dan idul adh-ha. Kemudian, perayaan ulang tahun ini
merupakan hari raya yang dimunculkan oleh orang-orang kafir. Sementara Nabi
shallallahu alaihi wasallam telah bersabda dalam hadits Abdullah bin Umar
radhiallahu anhuma:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ
مِنْهُمْ
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka”. (HR. Abu Daud no. 4031 dan dinyatakan shahih oleh
Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676) dan Al-Irwa` no. 2384)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata, “Hukum minimal yang terkandung dalam
hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada mereka (orang-orang kafir),
walaupun zhahir hadits menunjukkan kafirnya orang yang tasyabbuh kepada
mereka”. Beliau berkata, “Dengan hadits inilah, kebanyakan ulama berdalil akan
dibencinya semua perkara yang merupakan ciri khas orang-orang non muslim”.
Karenanya
tidak boleh seorang muslim mengucapkan selamat kepada siapapun yang merayakan
hari raya yang bukan berasal dari agama Islam (seperti ultah, natalan, waisak,
dan semacamnya), karena mengucapkan selamat menunjukkan keridhaan dan
persetujuan dia terhadap hari raya jahiliah tersebut. Dan ini bertentangan
dengan syariat nahi mungkar, dimana seorang muslim wajib membenci kemaksiatan.
Perayaan
ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal : dianggap sebagai ibadah, atau hanya
adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk
bid'ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid'ah dan penegasan
bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Beliau bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
"Jauhilah
perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan
berada dalam Neraka".
Namun
jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi
larangan.
Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari
raya ('Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan
RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai 'Ied (hari raya) dalam Islam,
padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya. Saat
memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapati dua hari
raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu bersenang-senang dan
menganggapnya sebagai hari 'Ied, maka beliau bersabda.
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْر
"Sesungguhnya
Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu
'Idul Fitri dan 'Idul Adha".
Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan
merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa
meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka". Kemudian
panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan
dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang
yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk
adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.
Karena
itulah, sebagian ulama tidak menyukai do'a agar dikaruniakan umur panjang
secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : "Semoga Allah
memanjangkan umurmu" kecuali dengan keterangan "Dalam
ketaatanNya" atau "Dalam kebaikan" atau kalimat yang serupa.
Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena
umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah
menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah
siksaan dan malapetaka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "Dan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka
dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka
ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana amat
teguh". [Al-A'raf : 182-183] Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ ۚ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا ۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
"Dan
janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada
mereka adalah labih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada
mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka adzab yang
menghinakan". [Ali-Imran/3 : 178]